Selasa, 04 Oktober 2011

Teh Linah

Hari ini seorang guru baru diperkenalkan di sekolahku, tentu saja setiap guru baru apalagi seorang wanita mendapat perhatian lebih. Maklum di sekolahku wanita termasuk barang langka. Aku sekolah di STM dan ambil jurusan listrik. Namanya Bu Linah, guru bahasa inggris kami yang baru, wajahnya yang teduh, bibir tipisnya yang selalu menyungingkan senyum. Tampak anggun dengan baju safari dipadu jilbab putih lebarnya. Tingginya sekitar 160-an, dan dari perawakannya yang tidak kurus dan tidak gemuk terpampang sosok tubuh yang ideal bagi seorang wanita. Kulitnya yang bersih, semakin memancarkan kecantikannya. Dia baru lulus kuliah dan baru menjadi tenaga honorer di sekolahku.

Pada pelajaran ini aku sulit sekali konsentrasi, pikiranku meracau kemana-mana membayangkan tubuhnya, apalagi ketika dia merunduk ketika melulis di papan yang agak bawah, hatiku semakin tidak karuan. Walaupun sudah memakai jilbab lebar namun lekukan di dadanya masih sulit disembunyikan, aku bayangkan sepasang payudara yang menantang dan sangat indah, aku taksir sekitar 36 A atau 36 B. “Rusdi…apa yang kamu pikirkan? kamu sakit?” suaranya memanggilku, aku tersentak, cepat sekali dia hafal nama murid di sini. “Maaf Bu, tidak ada apa-apa” sahutku. “Oke guys, give me an attention please.” katanya untuk mengambil perhatian kami.

“Hai Rus, rumah kamu di sini juga ya?” seseorang memanggilku saat sedang duduk di halaman rumah. “Oh Ibu, ya Bu, Ibu tinggal disini juga?”, “Jangan panggil Ibu, panggil teteh aja, Panggil Ibunya di sekoah saja ya” sahutnya ramah, “i…iya Bu, eh…Teh”. Sosok wanita yang sangat diidamkan pria, cantik, ramah, dan shalehah. Ternyata dia kos di kontrakan yang tidak jauh dari rumahku, setiap sore rumahnya selalu ramai oleh anak-anak yang belajar mengaji padanya. Sedangkan aku sendiri semakin terlarut dalam fantasiku membayangkan Teh Linah, hampir setiap kesempatan. Apalagi setiap pagi selalu lewat depan rumahku, dan terkadang kita berangkat bersama ke sekolah. Dia sudah menganggapku seperti adiknya sendiri, padahal aku sendiri menyimpan perasaan yang tidak mungkin aku ungkapkan. Dia adalah guruku, 8 tahun lebih tua dariku.

Suatu siang, aku beranikan mengetuk pintu rumah kontrakannya, “Siang Teh”. “Eh Rusdi, ada apa? ada yang bisa teteh bantu?” “Enggak teh, cuma tadi masih ada yang blum mengerti tentang tenses yang teteh ajarkan, mau kan mengulangi lagi mengajarkan?” tanyaku sedikit berbohong, padahal aku ingin sekali bertemu dengannya. “Kenapa tadi tidak disekolah saja?”, “Gak enak teh terlalu banyak tanya, kasihan temen-temen jadi terganggu”. “Ohh..kalau begitu baiklah tapi diluar saja ya, tidak enak sama tetangga”, “Ba…baik Teh, sahutku” sayang sekali padahal aku ingin berdua dengannya di dalam. Siang ini dia begitu cantik dengan balutan gamis warna pink dan jilbab putih yang menjuntai, tak lupa kaos kaki yang semakin membuatku penasaran seperti apakah kakinya, yang pasti jenjang dan menarik. Bedua dengannya saja sudah membuatku berdebar, aroma tubuh wanita yang has tercium membangkitkan kelaki-lakianku. “Rus…gimana sudah faham?”, “eh…yang mana Teh”, “katanya mau belajar, kok malah melamun terus, kamu harus konsentrasi”, “I..iya teh”. Tak terasa hari beranjak sore. “Assalaamu’alaikum…” terdengar suara beberapa anak-anak yang memanggil, “Maaf yah Rus, teteh harus mengajar anak-anak, lain waktu dilanjutkan ya, jangan sungkan kalau masih ada yang tidak faham”, “Iya teh, terima kasih ya”

Kecantikannya dalam sekejap menjadi buah bibir di desaku, namun sayang setiap laki-laki yang menyatakan cinta padanya selalu ditolak dengan cara halus, bahkan seorang anak saudagar terkaya di desa kamipun tidak mampu menaklukan hatinya. dan tidak sedikit yang mulai sakit hati padanya. November ini hujan mulai sering turun, sore ini Teh Linah, mampir ke rumahku, menitipkan kunci, kebetulan ayahku adalah ketua RT di sini. “Teteh mau pulang dulu, sudah lama tidak menengok orang tua”, yang aku suka semakin hari kita semakin akrab, walaupun sebatas pertemanan saja. “Tidak besok pagi saja teh? hari ini hujan dan sudah gelap, nanti kalau ada apa-apa gimana?”, dia tersenyum manis padaku “Terima kasih atas perhatiannya adikku sayang…mudah-mudahn tidak ada apa-apa di jalan.”, akupun membalas senyumannya. Namun, hatiku tidak tenang, setelah teh Linah pergi aku pun menyusulnya.

Ternyata, Bertus anak saudagar kaya itu sakit hati dan punya niat jahat padanya. Dia dan teman-temannya merencankan sesuatu. Tanpa curiga teh Linah membenhentikan ojeg yang sebenarnya adalah anak buah Bertus. AKu berusaha mencari teh Linah dengan menggunakan sepedaku namun sepeda motor yang membawanya keburu hilang dari pandangan mata. Hujan semakin lebat, tiba-tiba motor yang ditumpangi teh Linah berbelok dari arah terminal yang dituju. “lho…ini mau kemana pak, saya mau ke termina, tolong antar saya”, “Lewat sini aja neng, lebih cepat” ujar si tukang ojek. Tiba-tiba muncul 2 sepeda motor yang masing-masing berisi dua orang mencegat ojeg itu, “Cepat turun jangan macam-macam”, sambil mengacungkan senjat tajam, keempat orang bertopeng itu segera menghentikan ojeg itu. “Tolong…ada apa ini pak, tolong jangan apa-apakan saya” teh Linah mulai ketakutan. “Sudah jangan banyak cingcong ikut saja”, sambil menarik paksa teh Linah, “Pak tolong saya” sambil memohon pada tukang ojeg, namun ternyata si tukang ojeg itu kini sudah mengenakan topeng. Hujan semakin lebat, payung yang dibawa juga sudah entah kemana. Hujan yang lebat membasahi seluruh pakaian teh Linah, sehingga lekuk tubuhnya nampak tercetak di tubuhnya. Sambil menangis, teh Linah memohon untuk dilepaskan. Sampai tiba di sebuah rumah tua ditengah kebun. Tampak rumah itu sangat tidak terurus, atpnya 80 persen sudah tidak pada tempatnya. Hujan yang besar membuat suasana semakin mencekam, hanya suara hujan yang terdengar, tangisan dan jeritan tolong teh Linah hampir tidak terdengar.

Sesampainya di rumah itu telah menunggu seseorang yangjuga menggunakan topeng. “Hahaha…akhirnya si cantik datang juga, teruslah minta tolong jika ada yang bisa menolong”, “Siapa kamu, tolong lepaskan aku”, “kamu lupa sama saya ya? sekarang tidak hanya cintamu yang dapat aku miliki, bahkn tubuhmu hahaha…” sambil tangan bertus membelai pipi teh Linah yang basah, teh Linah hanya bisa memalingkan wajahnya karena kedua tangan teh Linah dipegang erat dua orang dan yang lainnya mengamati situasi. “Lepaskan, tolong” jeritan itu tidak dihiraukan bertus, terus diciumi wajah teh Linah, dengan sedikit keberanian teh Linah menendang perut bertus hingga terjerembab ke belakng. “Sialan, aku balas sekarang dengan yang lebih menyakitkan”, ditampar wajah teh Linah sehingga terhuyung dan jatuh ke tanah. Jilbabnya masih tampak rapih ditengah kuyup basah karena hujan yang membashi, saat jatuh betisnya yang putih tersingkap bahkan gelappun tak mampu menyembunyikannya.

Bertuspun mulai menindih teh Linah dan menciumi pipi dan bibirnya, teh Linah ters memalingkan wajahnya sambil berupaya mendorong bertus. “Joko…Jarot…pegang tangannya, Tunggul…Bondan pegang kakinya” bertus memberi perintah, teh Linah semakin tidak berdaya. dia hanya bisa menangis sambil menggigit bibirnya. bertus mulai meraba betis hingga naik ke pahanya, sekaligus mnyingkap roknya yang lebar. “Hahaha sekarang aku bisa melakukan apa saja padamu”, tangan kiri bertus memegang payudara kanan teh Linah dari luar jilbabnya sambil meremas, Aaa….saki… it….tolong lepasin” bertus semakin bersemangat meremas payudara teh Linah. Teh Linah hanya mengerang dan pasrah. bertus mulai leluasa menindih tubuh teh Linah, kemudian menarik bagian atas gamsnya hingga robek, nampak dua buah payudara yang indah dan putih seakan ingin melompat dari bra yang dikenakannya, payudara gadis yang selalu terawat dan masih sangat kencang. bertus menyibak jilbab teh Linah yang lebar ke ata sehingga bagian dada dan lehernya yang jenjang terlihat. tidak menunggu waktu lagi langsung mencium kedua payudara itu kemudian nik ke leher, dan menggigitnya. Sekali lagi teh Linah hanya bisa mengerang kesakitan sambil mengggit bbir bawahnya. Tangan bertus semakin tidak erkendali, tangan kanannya yang sedari tadi mengelus paha teh Linah mulai berani menyeruak ke selangkangan dan mengelus daerah vagina teh Linah. “Tolong…jaaa…ngaann…apapun yang kamu mau, tapi tolong jangan renggut itu dariku, sekali lagi tolong,…apapun akan aku lakukan”, bertus tersentak, dan kemudian menghentikan kegiatannya. “Benar, mau melakukan apa saja?”, “ya…apa saja, amu mau ambil uangku, HPku silahkan saja semuanya, tapi tolong lepaskan aku” teh Linah sedikit memiliki harpan. “Kalau itu aku sudah punya banyak, tapi aku hargai perkataanmu, ayo semua…lepaskan pegangannya” anak buah bertuspun melepaskan pegangannya.

Teh Linah mulai dapat bernapas lega, dan beringsut menutupi bagian dadanya yang terbuka dan menarik ke bawah roknya yang tersingkap. Bertus mulai melepaskan celananya, terlihat penis bertus yang mengacung bak tombak yang akan menghujam saat pertempuran. teh Linah mulai terduduk sambil terus menutupi dadanya menggunakan jilbabnya yang sudah tidak karuan warnanya. “Ayo sini mendekat…katanya kamu mau melakukan apapun”, teh Linah mendekati bertus hingga tepat wajahnya di depan penis bertus yang mengacung. Wajah teh Linah terus menunduk ke bawah dan terus menangis tersedu. “katanya kamu mau melakukan apapun, sekarang jilat penisku!” teh Linah masih terdiam dan tidka berani melakukan apapun. “cepat! atau aku paksa kamu menyerahkan mahkotamu” teh Linah mulai berani mendekat, dipegangnya penis bertus dengan tangan kiri dan mulai menjilatnya. “hahaha…sekarang kamu milikku” teh Linah semakin terguncang, tangisnya mulai mengeras. “Kok cuma sekali, ayo teruskan” teh Linah mulai menjilat-jilat kembali penis bertus, bertus mlai merasakan geli yang sangat di jung penisnya. Tanan kanan bertus memegang kepala belakang teh Linah, kemudian mendorong sehingga wajah teh Linah semakin masuk ke dalam selankangannya. “uhhmm….phhmmff…” seluruh mulut teh Linah penuh oleh penis bertus yang hanya terlihat setengahnya saja. Tangan bertus mulai memaju mundurkan kepala teh Linah sehingga penis bertus keluar masuk ke mulut teh Linah yang mungil. “uhh…uh…mhhppp…” teh Linah tak dapat berkata apapun. Sedangkan bertus mulai merasakan kenikamatan.

Sedanhgkan aku masih terus memacu sepedaku mengikuti jejak sepeda motor yang ditinggalkan, sudah lama aku berputar-putar tapi masih belum menemukannya teh Linah. “mhh…bukannya ini payung yang dipakai teh Linah” gumamku ketika menemukan payung kecil yang cantik teronggok dipinggir jalan. Ku merasa ni jalan yang sudah benar. Hari yang gelap dengan hujan yang deras semakin menyulitkan pencarianku, jas hujan yang kupakai sudah tidak mampu menahan air karena derasnya hujan sehingga tembus hingga kedalam.

“aahh…enak…terus sayang” teriak bertus, “hahaha lihat gadis alim itu, sok gaya menolak bos kita sekarang tau akibatnya” ujar kawanan anak buah bertus. “Bos, kalau sudah puas jangan lupa bagi-bagi ya, kita juga belum pernah nih ngerasain gadis alim yang sok suci ini”, Mata bertus mulai merem melek merasakan kenikmatan, sedangkan teh Linah hanya pasrah ketika angan bertus memaksa kepalanya untuk maju mundur di depan selangkangan pria itu. Sampai akhirnya “Aaahh…Linah aahh…” bertus mengejang, gerakan tangan yang memajumundurkan kepala Linah semakin kencang, dan…”aahh…” mulut Linah merasakan sesuatu yang hangat menyemprot ke dalam rongga mulutnya, sesuatu yang sangat menjijikkan. “huk….mhhh..ppff…huk” Linah terbatuk. “Ayo telan, jangan dibuang sedikitpun” Linah pun menjilati sisa sperma yang masih menetes di ujung penis bertus. Jilbabnya mulai acak-acakan, dan sesekali sisa sperma bertus yang muncrat mengenai wajah teh Linah. Bertus terduduk dan menikmati hal fantastis yang baru dia alami, seorang gadis yang masih terbalut dengan jilbabnya melakukan oral padanya. Sedangkan teh Linah terus menunduk dan menangis.

Aku terus menerobos pakatnya hujan dan menuju ladang milik orang tua bertus, aku curiga sesuatu terjadi dengan teh Linah, aku tidk mau seseorang yang aku sayangi terluka. Tanpa mennggu komando, anak buah bertus menyerbu Linah yang masih terpaku, ada yang mnarik tangannya, ada yang menarik kakinya, ada yang meremas-remas payudaranya. “Jangan dibuka jilbabnya, biarkan sja biar kita merasakan tubuh gadis alim ini hahaha” seru joko. teh Linah semakin tak karuan dan menangis dalam diamnya. Aku mulai menemukan sebuah rumah tua yang nampak gelap dan tidak terurus, nampaknya seperti bekas gudang milik keluarga bertus. Aku mengendap-endap mendekati rumah kosong itu, sambil memperhatikan keadaan sekeliling. dan aku menemukan suara gaduh didalamnya. gelak tawa beberapa laki-laki dan jeritan yang terputus-putus dari seorang wanita yng suaranya saya kenal sekali.

“Ah….jangan sakit…tolong lepaskan…ahh…” pinta teh Linah memelas, ketika dua tangan kasar meremas kedua payudaranya. sedangkan seorang lagi nampaknya mulai melepskan celana dalam teh Linah. Aku yang melihat pemandangan itu segera berpikir dan cari akal apa yang harus aku lakukan karena untuk melawan mereka sangat tidak mungkin. Rok teh Linah mulai disingkap ke atas, kedua kakinya direntangkan sehingga terlihat jelas selangkangannya yang samar oleh sedikit cahaya bulan. Hujan nampaknya mulai mereda, tapi tangis teh Linah semakin menjadi. Ssosok tubuh gempal mulai menurunkan celananya, dan mendekati ke selangkangan teh Linah. Teh Linah hanya bisa memalingkan wajahnya dan tak tahan terhadap apa yang dia alami. Sihingga penis pria gempal itu mulai mendekati dan menempel pada bibir vagina teh Linah. Aku semakin cepat berpikir, apa yang harus aku lakukan. Sesaat sebelum pria itu melepaskan hajatnya tiba-tiba Buu…ukk… tubuh gempal pria itu terjengkak. “Bodoh kau Bondan, itu bagianku tahu…!!!”, “Iy…iya boss, maafkan saya”, “hampir saja kamu merusak acaraku bodoh”, “sekali lagi maafkan saya”. Sekarang terlihat bertus yang mulai jongkok diantara selangkangan teh Linah, teh Linah hanya bisa menangis lemah. penis bertus yang masih loyo setelah tadi memuntahkan lahar hangat mulai ditempelkan dan digessek-gesekkan ke vagina teh Linah. Teh Linah terlihat pasrah terhadap nasibnya, dia hnya terus menangis.

Aku akhirnya menemukan ide, aku ambil besi yang teronggok disebelahku. Penis bertus yang mulai tegang kembali sepertinya siap menembus pertahanan terakhir teh Linah yng mulai lemah tak berdaya. Aku mulai beraksi, ketika penis itu mulai menempel di bibir vagina teh Linah, aku pukulkan keras-keras besi yang aku ambil tadi ke tiang listrik yang ada didekatku untuk membangunkan warga. Mendengar dentingan suara tiang listrik bertus dan kawannya kaget, dan segera melarikan diri. “Sialan…siapa itu, sambil” umpat bertus sambil membetulkan celananya. sedangkan teman-temannya sudah kabur duluan. Aku segera mendekati teh Linah yang terbujur lemah, dan menutup badannya dengan jas hujan yang aku pakai. “Ayo teh cepat sebelum warga datang” aku memapah teh Linah ke arah sepedaku dan memboncengkannya, sampai akhirnya saat warga datang aku sudah hilang dutelan malam.

“Sialan…ada apa sich sampai pukul tiang listrik segala, aku kira ada maling” umpat warga yang mulai berduyun-duyun datang ke sumber suara tadi. Namun mereka tidak menemukan apapun. Aku sendiri bersykur tidak diketahui bertus dan temantemannya jika saja mereka tahu bisa mampus aku. dan teh Linah juga bisa selamat. “terima kasih ya Rus, entah jika tidak ada kamu apa yang terjadi”, ujar teh Linah lemas ketika sampai di kosnya. “ya sudah teh Linah istirahat saja, mau aku temani?”, “hus…jangan apa kata orang nanti kalau lihat kamu tidur di rumahku, bisa jadi fitnah”, “baiklah aku pulang, tapi aku panggil dulu ya si asih adikku ntuk menemani teteh”, kebetulan adikku juga sering diajar mengaji oleh teh Linah. “Terima kasih ya Rus, tapi ingat peristiwa ini hanya kita saja yang tahu, teteh malu kalau orang lain sampai tahu”, “baiklah teh, aku janji”

Sejak itu aku semakin akrab saja dengan teh Linah, bahkan sudah seperti keluarga sendiri. Namn perasaanku terus berkecamuk, nampaknya teh Linah belum menyadari apa yang aku rasakan. sebenarnya akupun menginginkan dia, bisa bersama dia, mereguk cinta terindah di dunia.

Sore itu hujan sangat lebat di bulan desember ini, ada seorang anak kecil datang mencari ke rumah. Aku diminta datang ke rumah Teh Linah, untuk memperbaiki jaringan listrik rumahnya yang rusak. “Cepat ya, Mas. Sudah ditunggu Teh Linah” ujar anak SD murid mengaji teh Linah.

Dalam hati, aku sangat girang. Betapa tidak, guru bahasa inggris ini rupanya makin lengket dan akrab denganku. Sesampainya di rumah teh Linah, “Rus…tadi waktu ngajar listriknya tiba-tiba mati, mana mau hujan lebat lagi, aku takut sendirian kalau lampu masih mati begini, tolong perbaiki ya”, “Oke teh, asal bayarannya jelas” aku berseloroh, “emang bayarannya berapa sih? sama teteh sendiri aja pake bayaran”, “mahal atuh teh, pokoknya sesuatu yang mahal”, “apa itu?” teh Linah penasaran, “ada aja dech teh” ujarku, “awas kamu ya kalu mikir yang macem-macem” ancam teh Linah sambil tersenyum, yang semakin memancarkan kecantikannya dalam balutan jilbab hitamnya, dan dia sat itu mengenakan kemeja longgar warna putih dipadu rok abu-abu polos ang napak ketat mengikuti lekung pinggulnya, hanya saja terturup oleh kemejanya yang diurai keluar. rok seperti itu maka lekukan panggul teh Linah semakin nampak, seperti gitar spanyol yang indah, aku tertegun memandang tubuhnya yang penuh misteri. “Rusdi, please don’t look at me like that” dia mulai jengah ku perhatikan tubuhnya, “apa artinya tuh teh?” “makanya belajar anak bandel” sambil melihatku gemas yang membuat aku semakin berdegup dan gemas padanya.

Di rumah kontrakan teh Linah, suasana sepi. hampir malam dan mendung membuat sore itu seakin pekat. “Boleh khan aku masuk teh?” “kalau kamu gak masuk gimana bisa diperbaiki?”, “ya biasanya khan aku gak boleh masuk sama teteh”, “iya tentu, tapi ini kan darurat,” pintanya.

Darahku mendesir ketika membuntuti langkah teh Linah. Betapa tidak, walaupun tertutup darah pinggul dan pantat tetap membentuk dan terbayang sangat indah ketika kulihat dari belakang. “Anu, Rus… akhir-akhir ini listrik rumahku mati melulu. Mungkin ada ada kabel yang konslet. Tolong betulin, ya… Kau tak keberatan kan?” pinta teh Linah kemudian.
Tanpa banyak basa-basi menunjukkan ku di tempat MCB dan Sekering berada yang kebetulan dekat sekali dengan kamarnya
“Nah saya curiga jaringan di kamar ini yang rusak. Buruan kau teliti ya. Nanti keburu mahrib dan hujan”

Aku hanya menuruti segala permintaannya. Setelah merunut jaringan kabel, akhirnya aku memutusukan untuk memanjat atap kamar melalui ranjang. Tapi aku tahu persis, kamar itu pasti tempat tidur teh Linah jika dilihat dari tata letak ruangan yang rapih dan bau yang mewangi di sekitarnya. Celakanya, ketika aku menelusuri kabel-kabel, aku belum menemukan kabel yang lecet. Semuanya beres. Kemudian aku pindah ke ruangan sebelah. aku juga tak bisa menemukan kabel yang lecet. Kemudian pindah ke ruangan lain lagi. Celakanya lagi, ketika hari telah gelap, aku belum bisa menemukan kabel yang rusak. Akibatnya, rumah teh Linah tetap gelap total. Dan aku hanya mengandalkan bantuan sebuah senter serta lilin kecil yang dinyalakan teh Linah.

Lebih celaka lagi, tiba-tiba hujan deras mengguyur seantero desa. Tidak-bisa tidak, aku harus berhenti. Maunya aku ingin melanjutkan pekerjaan itu besok pagi. “Wah, maaf teh aku tak bisa menemukan kabel yang rusak. Ku pikir, kabel bagian puncak atap rumah yang kurang beres. Jadi besok aku harus bawa tangga khusus,” jelasku sambil melangkah keluar kamar. “Yah, tak apa-apa. Tapi sorry yah. Aku…. merepotkanmu,” balas teh Linah. “Itu teh hangatnya diminum dulu.”

Sementara menunggu hujan reda, kami berdua berakap-cakap berdua di ruang tengah. Cukup banyak cerita-cerita masalah pribadi yang kami tukar, termasuk masalah yang sensitif. Entah bagiamana awalnya, tahu-tahu nada percakapan kami berubah mesra dan menjurus ke arah yang pribadi. Aku membeanikan diri memegang tangan teh Linah, “ihh…rusdi apa-apaan sich” bentaknya agak kaget sambil menarik tangannya. “Maaf teh, hanya ingin aja memegang tangan teteh, abis menggemaskan sekali jari teteh yag lentik itu”, “mhh…kamu ini, hayo sudah berapa wanita yang kamu perdaya dengan rayuan gombalmu itu?” tanya teh Linah, “wah gak keitung teh, cuma yang belum pernah yang seperti teteh”, “kamu nih…” sambil tangannya mulai berani mencubit lenganku, “aku tuh sudah menganggap kamu tuh seperti adik teteh sendiri”, “aku khan cuma bercanda teh, emang teteh belum pernah disentuh laki-laki ya?” tanyaku mulai memancing, “tidak juga” jawabnya singkat, “teteh gak pernah pacaran ya?” tanyaku lagi, “mhh…pernah juga sich dulu waktu SMU, tapi sejak kuliah aku sudah tidak mau pacaran lagi”, ungkapnya mulai terbuka. “kalau kamu pasti sering ya?” teh Linah balik bertanya, aku hanya menjawab dengan senyuman. “waktu pacaran teteh gak pernah disentuh? cium atau apa gitu?”, “ya paling cium, sama pegangan tangan aja”, “apanya yang dicium?” aku semakin mencecar “bibir?”, teh Linah hanya terdiam, aku yakin jawabannya pasti iya. “waktu teteh dicium itu, apa teteh tidak merasakan sesuatu?”. “ihh…rusdi kamu kok nanyain begituan sich?, teteh khan manusia normal juga, ya pasti merasakan lah, dan itu salah satu alasan teteh gak mau pacaran, takut tidak bisa terkontrol”, “berarti ada dong teh rasa terangsang, atau dorongan seksual?”, sambil agak melotot “ya iya atuuhh…teteh khan manusia bukan malaikat”, “Rusdi kira orang seperti teteh gak pernah merasakan itu”, sambil aku mulai memegang tangannya lagi. Tapi anehnya sekarang dia tidak menarik tangannya. Aku mulai berani melakukan belaian lembut ke tangan teh Linah, teh Linah tidak bergeming dan tidak marah, aku mulai berani menaikan tanganku ke arah lengannya yng tertutup lengan dari gamisnya. Suasana hening saat itu, aku menaksikan wajah teh Linah yang bersemu merah dari cahaya lilin yang terpendar. Aku mulai berani naik keatas dan merangkul pundak teh Linah, teh Linah hanya terdiam saja ketika kepalanya mulai kusandarkan ke bahuku. yang ku rasakan badannya begitu panas seperti api yang membara, nafasnya mulai terengah-engah tanda dia tidak dapat mengontrol dirinya.

Merasa di atas anginm aku bahkan tak segan-segan membelai wajah teh Linah, membelai hidungnya yang bangir, mata, hingga bibirnya dan sebagainya. Tak sadar, tubuh kami berdua jadi berhimpitan hingga menimbulkan rangsangan yang cukup berarti untukku. Apalagi setelah dadaku menempel erat pada payudaranya yang berukuran lebih besar dari yang aku kira. Dan tak ayal lagi, penisku pun mulai berdiri mengencang. Aku tak sadar, bahwa aku sudah terangsang oleh guru sekolahku sendiri! Namun hawa nafsu birahi yang mulai melandaku sepertinya mengalahkan akal sehatku. Teh Linah sendiri juga tampaknya juga mulai kehilangan akal sehatnya. bahkan dia tidak bergeming ketika aku dekatkan wajahku ke wajahnya dan mengecup lembut bibirnya yang tipis. Dia tidak bereaksi, tidak marah juga tidak membalas.

Akhirnya, nafsuku sudah tak tertahankan lagi. Sementara bibirku masih tetap terus memagut, tanganku mulai menggerayangi tubuh guru sekolahku itu. Kujamah gundukan daging kembar yang menghiasi dengan indahnya dada teh Linah yang masih berpakaian lengkap. Dengan segera kuremas-remas bagian tubuh yang sensitif tersebut. Semua kulakukan masih dari luar pakaiannya dan masih terhalang oleh jilbabnya yang masih nampak rapih.

Tiba-tiba “Aaah…Rusdi…jangan…” Teh Linah menepis tanganku yang berada di payudaranya, dan bibirnya melepaskan dari bibirku. matanya masih terpejam, nafasnya tidak teratur sepereti sehabis berlari. hujan semakin lebat disertai kilatan petir yang terus menggelegar, seorangpun tidak daat mendengar aktivitas yang kami lakukan. kubelai lembut wajahnya, matanya terpejam dan bibirnya masih membuka. Teh Linah cantik sekali malam ini, aku tahu dia sebenarnya merasakan sesuatu yang sangat fantastis.

Aku beranikan kembali memagut bibirnya, bibir yang begitu tipis dan hangat. berganian kupagut bibir bawah dan bibir atasnya. Teh Linah masih tidak bereaksi, hanya desah nafasnya semakin tidak beraturan, aku rasakan detak jantunya pun semakin kencang. Ku beranikan tanganku menyusup dibalik jilbabnya, masih dari luar kemejanya. Ku mulai meremas payudaranya yang sangat kencang dan menantang itu. Anehnya, kali ini teh Linah tidak bereaksi menolak dan menepis tangaku. AKu pikir dia mulai menikmati itu. Mengetahui teh Linah tidak menghalangiku, aku semakin berani. Remasan-remasan tanganku pada payudaranya semakin menjadi-jadi. Sungguh suatu kenikmatan yang baru pertama kali kualami meremas-remas benda kembar indah nan kenyal milik guru sekolahku itu yang selama ini selalu terlihat tertutup dibalik jilbab dan gamisnya. Ku usap-usap terus payudaranya yang begitu menggiurkan itu. Tubuh teh Linah mulai bergerak menggelinjang tak beraturan.

“Uuuuhhh… Rus…..aaahh…” teh Linah mendesah saat jamahan tangan kiriku mendarat di selangkangannya. Penisku pun bertambah menegang akibat pantat teh Linah yang begitu kencang dan montok berulang kali menempel di selangkanganku, membuatku bagian selangkangan celana panjangku tampak begitu menonjol. Aku yakin teh Linah juga merasakannya, membuatku semakin bernafsu meremas-remas payudaranya dengan tanganku itu dari kemejanya yang masih tertutup rapat. Nafsu birahi yang menggelora nampaknya semakin menenggelamkan kami berdua, sehingga membuat kami melupakan hubungan kami sebagai guru-murid.

“Aaauuhh… Rus… uuuh…..” teh Linah mendesis-desis dengan desahannya karena remasan-remasan tanganku di payudaranya bukannya berhenti, malah semakin merajalela. Matanya terpejam merasa kenikmatan yang begitu menghebat.

Tanganku mulai membuka satu persatu kancing kemeja teh Linah dari yang paling atas hingga kancing terakhir, kemudian aku sibak jilbabnya ke atas. Aku terpana sesaat melihat tubuh guru sekolahku itu yang putih dan mulus dengan payudaranya yang membulat dan bertengger dengan begitu indahnya di dadanya yang masih tertutup beha katun berwarna krem kekuningan. Tetapi aku segera tersadar, bahwa pemandangan amboi di hadapannya itu memang tersedia untukku, terlepas itu milik guru sekolahku sendiri.

Tidak ingin membuang-buang waktu, bibirku berhenti menciumi bibir teh Linah dan mulai bergerak ke bawah. Kucium dan kujilati leher jenjang teh Linah yang terbuka karena jilbabnya aku singkapkan, membuatnya menggelinjal-gelinjal sambil merintih kecil. Sementara itu, tanganku kuselipkan ke balik beha teh Linah sehingga menungkupi seluruh permukaan payudara sebelah kanannya. Puting susunya yang tinggi dan mulai mengeras begitu menggelitik telapak tanganku. Segera ku elus-elus puting susu yang indah itu dengan telapak tanganku. Kepala teh Linah tersentak menghadap ke atas sambil memejamkan matanya. Tidak puas dengan itu, ibu jari dan telunjukku memilin-milin puting susu teh Linah yang langsung saja menjadi sangat keras. Memang baru kali ini aku menggeluti tubuh indah seorang wanita yang begitu menjaga kesuciannya. Berbeda dengan pacar-pacarku yang lain, begitu murah menjual tubuhnya demi kepuasan dan harta.

“Iiiihh….. auuuhhh….. aaahhh…..” teh Linah tidak dapat menahan desahan-desahan nafsunya. Segala gelitikan jari-jemariku yang dirasakan oleh payudara dan puting susunya dengan bertubi-tubi, membuat nafsu birahinya semakin membulak-bulak. AKu yakin, baru kali ini dia merasakan sensasi yang begitu fantastis, sensasi manusia normal secara umum, yang mungkin dia sendiri tidak akan enyangka akan merasakan ini dengan seorang muridnya sendiri.

Kupegang tali pengikat beha teh Linah lalu kuturunkan ke bawah. Kemudian beha itu kupelorotkan ke bawah sampai ke perut teh Linah. Puting susu teh Linah yang sudah begitu mengeras itu langsung mencelat dan mencuat dengan indahnya di depanku. Aku langsung saja melahap puting susu yang sangat menggiurkan itu. Kusedot-sedot puting susu teh Linah. Kuingat saat aku menyedot payudara pacarku. Bedanya, payudara teh Linah ini jauh lebih terawat dan kencang karena belum terjamah oleh siapapun. teh Linah menggeliat-geliat akibat rasa nikmat yang begitu melanda kalbunya. Lidahku dengan mahirnya tak ayal menggelitiki puting susunya sehingga pentil yang sensitif itu melenting ke kiri dan ke kanan terkena hajaran lidahku.

“Oooh…. Ruuuuuuuus” desahan teh Linah semakin lama bertambah keras. Untung saja hujan masih deras dan letaknya rumah kontrakannya yang memang agak berjauhan dari rumah yang paling dekat, sehingga tidak mungkin ada orang yang mendengarnya.

Belum puas dengan payudara dan puting susu teh Linah yang sebelah kiri, yang sudah basah berlumuran air liurku, mulutku kini pindah merambah bukit membusung sebelah kanan. Apa yang kuperbuat pada belahan indah sebelah kiri tadi, kuperbuat pula pada yang sebelah kanan ini. Payudara sebelah kanan milik guru sekolahku yang membulat indah itu tak luput menerima jelajahan mulutku dengan lidahnya yang bergerak-gerak dengan mahirnya. Kukulum ujung payudara teh Linah. Lalu kujilati dan kugelitiki puting susunya yang tinggi. Puting susu itu juga sama melenting ke kiri dan ke kanan, seperti halnya puting susu payudaranya yang sebelah kiri tadi. teh Linah pun semakin merintih-rintih karena merasakan geli dan nikmat yang menjadi-jadi berbaur menjadi satu padu. Seperti tengah minum soft drink dengan memakai sedotan plastik, kuseruput puting susu guru sekolahku itu.

“Ruuusss….. Aaaahhhhh…..” teh Linah menjerit panjang.

Lidahku tetap tak henti-hentinya menjilati puting susu teh Linah yang sudah demikian kerasnya. Sementara itu tanganku mulai bergerak ke arah bawah. Ku singkap rok yang teh Linah kenakan. Terpapang didepan mata paha yang putih mulus dan jenjang, paha yang belum tersentuh oleh lelaki manapun. Kemudian tanganku berpindah ke selangkangannya, kurasakan celana dalam yang teh Linah kenakan sudah basah oleh cairan yang keluar dari vaginanya. Aku makin berani dengan menanggalkan celana dalamnya itu ke bawah hingga terlepas dari mata kaki. Tubuh bagian bawah teh Linah sekarang tek tertutup sehelai benangpun. Samar-samar kulihat rambut di vaginanya tercukur rapih. Hanya menyisakan bulu-bulu yang kecil dan membuat geli ketika kupegang.

Tak ayal, jari tengahku mulai menjamah bibir vagina teh Linah di selangkangannya yang sudah mulai ditumbuhi bulu-bulu tipis kehitaman. Kutelusuri sekujur permukaan bibir vagina itu secara melingkar berulang-ulang dengan lembutnya. Tubuh teh Linah yang masih terduduk di sofa melengkung ke atas dibuatnya, sehingga payudaranya semakin membusung menjulang tinggi, yang masih tetap dilahap oleh mulut dan bibirku dengan tanpa henti.

“Oooohhh….. Ruuusssdddyyyy….. Aaaahhh….. Ruuusss…..ssshhh…aaahhh….!”

Jari tengahku itu berhenti pada gundukan daging kecil berwarna kemerahan yang terletak di bibir vagina teh Linah yang telah dibasahi cairan-cairan bening. Mula-mula kuusap-usap daging kecil yang bernama klitoris ini dengan perlahan-lahan. Lama-kelamaan kunaikkan temponya, sehingga usapan-usapan tersebut sekarang sudah menjadi gelitikan, bahkan tak lama kemudian bertambah lagi intensitasnya menjadi sentilan. Klitoris teh Linah yang bertambah merah akibat sentuhan jariku yang bagaikan sudah profesional, membuat tubuh pemiliknya itu semakin menggelinjal-gelinjal tak tentu arahnya. Jilbabnya yang sudah tersingkap semakin tidak karuan, ku mulai melihat rambutnya yang panjang dan legam membuat penampilan teh Linah malam itu semakin erotis. Wajah dan lehernya mulai ditumbuhi titik-titik keringat walaupun sesungguhnya malam itu cukup dingin.

Melihat teh Linah yang tampak semakin merangsang, aku menambah kecepatan gelitikanku pada klitorisnya. Dan akibatnya, klitoris teh Linah mulai membengkak. Sementara vaginanya pun semakin dibanjiri oleh cairan-cairan kenikmatan yang terus mengalir dari dalam lubang keramat yang masih perawan itu.

Puas menjelajahi klitoris teh Linah, jari tengahku mulai merangsek masuk perlahan-lahan ke dalam vagina guru sekolahku itu. Setahap demi setahap kumasukkan jariku ke dalam vaginanya. Mula-mula sebatas ruas jari yang pertama. Ruusss…jangan sakkii..iitt…jangan Ruusss aku masih perawan” Dengan susah payah memang, sebab vagina teh Linah memang masih teramat sempit. “Ruuss…..sakiitt….aahhh…” Kemudian perlahan-lahan jariku kutusukkan lebih dalam lagi. Pada saat setengah jariku sudah amblas ke dalam vagina teh Linah, terasa ada hambatan. Seperti adanya selaput yang cukup lentur.

“Aiiihh… Ruusss…” teh Linah merintih kecil seraya meringis seperti menahan rasa sakit. Saat itu juga, aku langsung sadar, bahwa yang menghambat penetrasi jari tengahku ke dalam vagina teh Linah adalah selaput daranya yang masih utuh. Ternyata guru sekolahku satu-satunya itu benar-benar masih perawan. Dan untuk menghargainya, aku memutuskan tidak akan melanjutkan perbuatanku itu.

“Russs….. Kok distop…..” tanya teh Linah dengan nafas terengah-engah. Aku yakin kalimat itu diluar kesadarannya, tapi itu adalah perkataan yang jujur terhadap apa yang dialaminya. “teteh, teteh kan masih perawan. Nanti kalo aku terusin kan teteh bisa…..”. “Teteh mau kalau aku teruskan?” aku tak mndengar jawaban dari mulutnya, nafasnya terus mendesah dan terengah.

Ku tuntun tangan teh Linah menggapai selangkanganku. Begitu tangannya menyentuh ujung penisku yang masih ada di dalam celana pendek yang kupakai, penisku yang tadinya sudah mengecil, sontak langsung bergerak mengeras kembali. Ternyata sentuhan lembut tangannya itu berhasil membuatku terangsang kembali, membuatku tidak dapat membantah apapun lagi, bahkan aku seperti melupakan apa-apa yang kukatakan barusan.

Dengan secepat kilat, Aku memegang kolor celana pendekku, lalu dengan sigap pula celanaku itu ku lucutinya sebatas lutut. Yang tersisa hanya celana dalamku. Tanganku menuntun tangan teh Linah untuk meremas-remasnya penisku, membuat penisku itu semakin bertambah keras dan bertambah panjang. Kutaksir panjangnya sekarang sudah bertambah dua kali lipat semula. Bukan main! Semua ini akibat rangsangan yang kuterima dari guru sekolahku itu sedemikian hebatnya. Kali ini aku lihat teh Linah membuka matanya, dan terperangah melihat penisku yang sudah sangat menegang dan kaku. Mungkin baru kali ini dia melihat penis laki-laki didepan matanya langsung. Penisku ini memang sedikit diatas ukuran pada umumnya laki-laki di indonesia. Dengan anjang yang hampir mencapai 20 cm dan diameter 5 cm, aku yakin psti akan dapat memuaskan wanita yang kutiduri.

“Teh….. aku buka dulu ya,” tanyaku sambil menanggalkan celana dalamku. sehingga bagian bawahku tidak mengenakan apapun. Teh Linah terdiam, yang aku tau jika wanita diam tandanya setuju, atau masih terkesima dengan penisku.

Penisku yang sudah begitu tegangnya seperti meloncat keluar begitu penutupnya terlepas.

“Aw!” teh Linah menjerit kaget melihat penisku yang begitu menjulang dan siap tempur. Namun kemudian ku raih tanganya dan mengarahkan ke penisku kemudian perlahan-lahan ia menggosok-gosok batang ‘meriam’-ku itu tanpa aku perintah dan aku bimbing, sehingga membuat otot-otot yang mengitarinya bertambah jelas kelihatan dan batang penisku itu pun menjadi laksana tonggak yang kokoh dan siap menghujam siapa saja yang menghalanginya. Kali ini teh Linah melakukannya denan melihat langsung penisku tanpa memejamkan matanya. Kemudian aku menarik tangan teh Linah yang masih menggenggam penisku dan membimbingnya menuju selangkangannya sendiri. Diarahkannya penisku itu tepat ke arah lubang vaginanya.

“Ruus…aku masih perawan…jangan…” Sekilas, aku seperti sadar. Astaga! teh Linah kan guru sekolahku sendiri! Apa jadinya nanti jika aku sampai menyetubuhinya? Apa kata orang-orang nanti mengetahui aku berhubungan seks dengan guru sekolahku sendiri? atau kalau dia sampai hamil, pasti akan heboh jika wanita yang selama ini menutup dan menjaga tubuhnya tenyata bobol juga.

Akhirnya aku memutuskan tidak akan melakukan penetrasi lebih jauh ke dalam vagina teh Linah. Kutempelkan ujung penisku ke bibir vagina teh Linah, lalu kuputar-putar mengelilingi bibir gua tersebut. teh Linah menggerinjal-gerinjal merasakan sensasi yang demikian hebatnya serta tidak ada duanya di dunia ini.

“Aaahhh….. uuuhhhh…..” teh Linah mendesah-desah dengan kerasnya sewaktu aku sengaja menyentuhkan penisku pada klitorisnya yang kemerahan dan kini kembali membengkak. Sementara bibirku masih belum puas-puasnya berpetualang di payudara teh Linah itu dengan puting susunya yang menggairahkan. Terlihat payudara guru sekolahku itu dan daerah sekitarnya basah kuyup terkena jilatan dan lumatanku yang begitu menggila, sehingga tampak mengkilap. Kini jilbabnya sudah kusut tidak karuan walau masih tetap menutupi sebagian rambutnya, kemejanya sudah hampir telepas dari tubuhnya yang indah, dan roknya telah tersingkap ke atas. Selangkangannya terbuka seakan siap menerima hujaman tombak tumpulku, matanya terpejam dengan bibir yang terbuka, nafasnya naik turun tidka teratur. AKu tau dia sedang berada di puncak fantasinya.

Aku perlahan-lahan mulai memasukkan batang penisku ke dalam lubang vagina teh Linah. “aaahh….Ruussdii…aahh…” ucapnya sambil semakin memejamkan matanya seperti sedang menahan rasa sakit. Sengaja aku tidak mau langsung menusukkannya. Sebab jika sampai kebablasan, bukan tidak mungkin dapat mengoyak selaput daranya. Aku tidak mau melakukan perbuatan itu, sebab bagaimanapun juga teh Linah adalah guru sekolahku, seseorang yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri!

teh Linah mengejan ketika kusodokkan penisku lebih dalam lagi ke dalam vaginanya. Ku rasakan sekali himpitan rongga vaginanya yang masih sangat sempit, sekian kali aku masukan sekian kali teh Linah berteriak tertahan menahan rasa sakit. Sewaktu kira-kira penisku amblas hampir setengahnya, ujung “tonggak”-ku itu ternyata telah tertahan oleh selaput dara teh Linah, sehingga membuatku menghentikan hujaman penisku itu. Segera saja kutarik penisku perlahan-lahan dari Yaning surgawi milik guru sekolahku itu. Gesekan-gesekan yang terjadi antara batang penisku dengan dinding lorong vagina teh Linah membuatku meringis-ringis menahan rasa nikmat yang yang tak terhingga. Baru kali ini aku merasakan sensasi seperti ini. Lalu, kembali kutusukkan penisku ke dalam vagina teh Linah sampai sebatas selaput daranya lagi dan kutarik lagi sampai hampir keluar seluruhnya.

Ku lihat teh Linah malah menikmati apa yang aku lakukan, giginya menggigit bibir bawahnya, tidak nampak rasa penderitaan dari wajahnya, hanya kenikmatan dan sesasi yang baru dialaminya. DIa sudha tidak ingat lagi komitmennya untuk memberikan kesucian hanya pada suaminya kelak, yang dia tau adalah bagaimana hasratnya saat itu tertuntaskan. Akal sehatnya sudah tidak bekerja lagi, kenikmatan duniawi yang baru dia rasakan telah merasuk keseluruh tubuhnya. Walau dalam hatinya menolak, tapi tubuhnya tidak dapat berbohong tentu agar syahwatnya terlepaskan.

Begitu terus kulakukan berulang-ulang memasukkan dan mengeluarkan setengah batang penisku ke dalam vagina teh Linah. Dan temponya pun semakin lama semakin kupercepat. Gesekan-gesekan batang penisku dengan dinding vagina teh Linah semakin menggila. Rasanya tidak ada lagi di dunia ini yang dapat menandingi kenikmatan yang sedang kurasakan dalam permainan cintaku dengan guru sekolahku sendiri ini. Kenikmatan yang pertama dengan kenikmatan berikutnya, disambung dengan kenikmatan selanjutnya lagi, saling susul-menyusul tanpa henti. Baru kali ini aku merasakan vagina seorang peraan, dan tidak tanggung vagina seorang yang selalu menjaga kesuciannya.

Tampaknya setan mulai merajalela di otakku seiring dengan intensitas gesekan-gesekan yang terjadi di dalam vagina teh Linah yang semakin tinggi. Kenikmatan tiada taranya yang serasa tidak kesudahan, bahkan semakin menjadi-jadi membuat aku dan teh Linah menjadi lupa segala-galanya. Aku pun melupakan semua komitmenku tadi.

Dalam suatu kali saat penisku tengah menyodok vagina teh Linah, aku tidak menghentikan hujamanku itu sebatas selaput daranya seperti biasa, namun malah meneruskannya dengan cukup keras dan cepat, sehingga batang penisku amblas seluruhnya dalam vagina teh Linah. “Ahh…russs…ddii” jeritnya tertahan sambil menggigit bibir bawahnya, rasanya cukup menyakitkan. Vaginanya yang amat sempit itu berdenyut-denyut menjepit batang penisku yang tenggelam sepenuhnya.

“Aaaauuuuwwww…..” teh Linah menjerit cukup keras kesakitan. Tetapi aku tidak menghiraukannya. Sebaliknya aku semakin bernafsu untuk memompa penisku itu semakin dalam dan semakin cepat lagi penetrasi di dalam vagina teh Linah. Tampaknya rasa sakit yang dialami guru sekolahku itu tidak membuat aku mengurungkan perbuatan setanku. Bahkan genjotan penisku ke dalam lubang vaginanya semakin menggila. Kurasakan, semakin cepat aku memompa penisku, semakin hebat pula gesekan-gesekan yang terjadi antara batang penisku itu dengan dinding vagina teh Linah, dan semakin tiada tandingannya kenikmatan yang kurasakan.

Hujaman-hujaman penisku ke dalam vagina teh Linah terus-menerus terjadi sambung-menyambung. Bahkan tambah lama bertambah tinggi temponya. teh Linah tidak sanggup berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menjerit-jerit tidak karuan. Rupa-rupanya setan telah menguasai jiwa kami berdua, sehingga kami terhanyut dalam perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh dua guru dan murid.

“Aaaah….. Russdyyy….. aaahhh…..” teh Linah menjerit panjang. Dia sudah tidak merasakan sakit namun kini telah berganti menjadi kenikmatan yang tiada taranya. Tampaknya ia sudah seakan-akan terbang melayang sampai langit ketujuh. Matanya terpejam sementara tubuhnya bergetar dan menggelinjang keras. Peluh mulai membasahi tubuh kami berdua. Kutahu, guru sekolahku itu sudah hampir mencapai orgasme. Namun aku tidak mempedulikannya. Aku sendiri belum merasakan apa-apa. Dan lenguhan serta jeritan teh Linah semakin membuat tusukan-tusukan penisku ke dalam vaginanya bertambah menggila lagi. teh Linah pun bertambah keras jeritan-jeritannya. Pokoknya suasana saat itu sudah gaduh sekali. Segala macam lenguhan, desahan, ditambah dengan jeritan berpadu menjadi satu.

Akhirnya kurasakan sesuatu hampir meluap keluar dari dalam penisku. Tetapi ini tidak membuatku menghentikan penetrasiku pada vagina teh Linah. Tempo genjotan-genjotan penisku juga tidak kukurangi. “Russ…jangan keluarkan di dalam…aku takut hamil” keluh teh Linah sambil terus menikmati orgasme panjang yang ia rasakan. Dan akhirnya setelah rasanya aku tidak sanggup menahan orgasmeku, kutarik penisku dari dalam vagina teh Linah secepat kilat. Kemudian dengan tempo yang tinggi, kugosok-gosok batang penisku itu dengan tanganku. Tak lama kemudian, cairan-cairan kental berwarna putih bagaikan layaknya senapan mesin bermuncratan dari ujung penisku. Sebagian mengenai muka teh Linah. Ada pula yang mengenai payudara dan bagian tubuhnya yang lain. Bahkan celaka! Ada pula yang belepotan di jok sofa yang diduduki teh Linah. Ditambah dengan darah yang mengalir dari dalam vaginanya, menandakan keperawanan guru sekolahku itu berhasil direnggut olehku, murid yang sudha dianggap adik kandungnya sendiri!

Dan akhirnya karena kehabisan tenaga, aku terhempas begitu saja ke atas sofa di samping teh Linah. Tubuh kami berdua sudah bermandikan keringat dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku hanya mengenakan kaus oblong saja, sedangkan teh Linah hampir telanjang bulat dengan jilbab yang tersingkap keatas tak karuan, kemeja yang tidak dapat lagi menutupi kemolekan tubuhnya, serta rok yang tersingkap ke atas sampai di perutnya.

Sesaat teh Linah merasakan kenikmatan yang baru ia rasakan, tak lama kemudia ia mulai tergugu menangis terhadap apa yang kami lakukan. AKu tahu rasanya seseorang yang baru saja kehilangan mahkotanya, anehnya dia tidak marah padaku. Mungkin karena diapun menikmatinya, mungkin karena aku pernah menolongnya, atau mngkin karena aku yang melakukannya. Aku mulai mendekap tubunya dan kamipun tertidur kelelahan dalam pikuknya suara hujan dan guntur yang terus bergemuruh.

Sejak itu, teh Linah memang agak menarik diri dan menahan diri setiap bertemu denganku, mungkin karena malu, takut atau rasa bersalah. Tapi setiap aku “mengingikannya” aku selalu datangi rumah konrakannya, dan “melakukan” hal itu lagi dengannya walau dengan sedikit memaksa. Walau tidak setuju dan tidak merespon terhadap yang au lakukan, tapi dia tidak marah dan melaporkan atas apa yang aku lakukan. Dan akupun tahu diri, aku tidak pernah menumpahkan spermaku di rahimnya, tapi terkadang memintanya untuk mengulum dan menumpahkan dalam mulutnya, dadanya, atau bahkan perutnya.

Namun sejak sebulan lalu, dia diterima menjadi PNS di kota, akupun kesulitan untuk menghubunginya lagi. Demikian sekelumit ceritaku dengan guruku yang tak mungkin aku lupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar